Selasa, 18 September 2012

Aplikasi Rahn (Gadai) Dalam Keuangan Syariah



Pegadaian Syariah

Implementasi operasi Pegadaian Syariah hampir bermiripan dengan Pegadaian konvensional. Seperti halnya Pegadaian konvensional , Pegadaian Syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak. Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana, Di samping beberapa kemiripan dari beberapa segi, jika ditinjau dari aspek landasan konsep; teknik transaksi; dan pendanaan, Pegadaian Syariah memilki ciri tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan Pegadaian konvensional Dari landasan Syariah tersebut maka mekanisme operasional Pegadaian Syariah dapat digambarkan sebagai berikut : Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh Pegadaian. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak. Pegadaian Syariah akan memperoleh keutungan hanya dari bea sewa tempat yang dipungut bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang diperhitungkan dari uang pinjaman.. Sehingga di sini dapat dikatakan proses pinjam meminjam uang hanya sebagai ‘lipstick’ yang akan menarik minat konsumen untuk menyimpan barangnya di Pegadaian. Untuk dapat memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah, masyarakat hanya cukup menyerahkan harta geraknya ( emas, berlian, kendaraan, dan lain-lain) untuk dititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf Penaksir akan menentukan nilai taksiran barang bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai patokan perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan plafon uang pinjaman yang dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai intrinsik dan harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum Pegadaian. Maksimum uang pinjaman yang dapat diberikan adalah sebesar 90% dari nilai taksiran barang. Setelah melalui tahapan ini, Pegadaian Syariah dan nasabah melakukan akad dengan kesepakatan : 1. Jangka waktu penyimpanan barang dan pinjaman ditetapkan selama maksimum empat bulan . 2. Nasabah bersedia membayar jasa simpan sebesar Rp 90,- ( sembilan puluh rupiah ) dari kelipatan taksiran Rp 10.000,- per 10 hari yang dibayar bersamaan pada saat melunasi pinjaman. 3. Membayar biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Pegadaian pada saat pencairan uang pinjaman. Nasabah dalam hal ini diberikan kelonggaran untuk o melakukan penebusan barang/pelunasan pinjaman kapan pun sebelum jangka waktu empat bulan, o mengangsur uang pinjaman dengan membayar terlebih dahulu jasa simpan yang sudah berjalan ditambah bea administrasi, o atau hanya membayar jasa simpannya saja terlebih dahulu jika pada saat jatuh tempo nasabah belum mampu melunasi pinjaman uangnya. Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya membayar jasa simpan, maka Pegadaian Syarian melakukan eksekusi barang jaminan dengan cara dijual, selisih antara nilai penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak merupakan uang kelebihan yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan selama satu tahun untuk mengambil Uang kelebihan, dan jika dalam satu tahun ternyata nasabah tidak mengambil uang tersebut, Pegadaian Syariah akan menyerahkan uang kelebihan kepada Badan Amil Zakat sebagai ZIS. Aspek syariah tidak hanya menyentuh bagian operasionalnya saja, pembiayaan kegiatan dan pendanaan bagi nasabah, harus diperoleh dari sumber yang benar-benar terbebas dari unsur riba. Dalam hal ini, seluruh kegiatan Pegadaian syariah termasuk dana yang kemudian disalurkan kepada nasabah, murni berasal dari modal sendiri ditambah dana pihak ketiga dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Pegadaian telah melakukan kerja sama dengan Bank Muamalat sebagai fundernya, ke depan Pegadaian juga akan melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan syariah lain untuk memback up modal kerja. Dari uraian ini dapat dicermati perbedaan yang cukup mendasar dari teknik transaksi Pegadaian Syariah dibandingkan dengan Pegadaian konvensional, yaitu 1. Di Pegadaian konvensional, tambahan yang harus dibayar oleh nasabah yang disebut sebagai sewa modal, dihitung dari nilai pinjaman. 2. Pegadaian konvensional hanya melakukan satu akad perjanjian : hutang piutang dengan jaminan barang bergerak yang jika ditinjau dari aspek hukum konvensional, keberadaan barang jaminan dalam gadai bersifat acessoir, sehingga Pegadaian konvensional bisa tidak melakukan penahanan barang jaminan atau dengan kata lain melakukan praktik fidusia. Berbeda dengan Pegadaian syariah yang mensyaratkan secara mutlak keberadaan barang jaminan untuk membenarkan penarikan bea jasa simpan.
 Persyaratan:
a. Menyerahkan copy KTP atau identitas resmi lainnya.
b. Menyerahkan barang sebagai jaminan (emas, berlian, elektronik, kendaraan bermotor, dan lain-lain). c. Untuk kendaraan bermotor menyerahkan BPKB dan copy STNK.
d. Mengisi formulir permintaan pinjaman.
e. Menandatangani akad.

Metode Penghitungan Gadai Syariah Ketentuan :
a. Harga dasar emas : Rp. 380.000/ gram.
b. Karatase emas : 10 karat s.d 24 karat.
c. Biaya pemeliharaan : (dilihat dari besarnya pembiayaan).
-Rp 20.000 – Rp 150.000 = Rp 45,
- Rp 151.000 – Rp 500.000 = Rp 73,
- Rp 501.000 – Rp 1.000.000 = Rp 79,
- RP 1.005.000 – Rp 5.000.000 = Rp 79,
- Rp 5.010.000 – Rp 10.000.000 = Rp 79
- Rp10.050.000 – Rp 20.000.000 = Rp 79,
- Rp20.100.000 – Rp 50.000.000 = Rp 62,
- Rp50.100.000 – Rp 200.000.000 = Rp 62,-
d. Maksimum pembiayaan: 91% untuk perhiasan.

Biaya-biaya:
a. Administrasi: (dilihat dari besarnya pembiayaan).
-Rp 20.000 – Rp 150.000 = Rp 1.000
-Rp 151.000 – Rp 500.000 = Rp 3.000
-Rp 501.000 – Rp 1.000.000 = Rp 8.000
-RP 1.005.000 – Rp 5.000.000 = Rp 15.000
-Rp 5.010.000 – Rp 10.000.000 = Rp 25.000
-Rp10.050.000 – Rp 20.000.000 = Rp 40.000
-Rp20.100.000 – Rp 50.000.000 = Rp 60.000
-Rp50.100.000 – Rp 200.000.000 = Rp 100.000
b. Pemeliharaan: .
 Pelunasan : Pembiayaan + biaya pemeliharaan.
Contoh soal: Diketahui: • Harga dasar emas : Rp 380.000,- • Administrasi : Rp 40.000,- • Maksimum pembiayaan : 91% x harga taksiran • Biaya pemeliharaan : Rp 79,- Penghitungan: • Harga taksiran : • Maksimum pembiayaan : 91% x Rp 19.000.000 = Rp 17.290.000 •

Biaya pemeliharaan : • Pelunasan : Rp 17.290.000 + Rp 1.801.200 = Rp 19.091.200 Produk Pegadaian Syariah Selain dari gadai itu sendiri, pegadaian syariah juga mengeluarkan produk yang lain, yakni:
1. Produk Investasi Emas (bernama MULIA) Produk Investasi Emas bernama MULIA (Murabahah Emas Logam Mulia Investasi Abadi). Yaitu penjualan logam Mulia oleh Pegadaian kepada masyarakat secara tunai, dan agunan dengan jangka waktu Fleksibel. Akad Murabahah Logam Mulai untuk Investasi Abadi adalah persetujuan atau kesepakatan yang dibuat bersama antara Pegadaian dan Nasabah atas sejumlah pembelian Logam Mulia disertai keuntungan dan biaya-biaya yang disepakati. Pegadaian memfasilitasi jual beli emas batangan, bisa dengan cara cash maupun kredit/dicicil dengan maksimal 36 bulan. Investasi ini bisa perorangan maupun badan usaha. Syaratnya hanya melampirkan Copy KTP, KK dan menyerahkan uang muka bagi perorangan sementara bagi badan usaha selain persyaratan diatas ada tambahan yaitu copy NPWP dan AD/ART. Pilihan logam mulia pun sangat beragam mulai dari berat 5gr, 10gr, 25gr, 50gr, 100gr sampai 1kg. Produk MULIA ini hasil kerjasama antara PERUM Pegadaian dengan PT. Antam Tbk. Harga itu belum termasuk margin yang dikenakan oleh Perum Pegadaian. Besarnya margin juga tergantung dari berapa lama kita mengangsur begitupun juga uang mukanya, minimal uang muka 20%. Untuk saat ini, dibawah adalah margin yang berlaku di Pegadaian. Margin yang ditentukan sebagai berikut: 1) Tunai/1 bulan = 3% 2) 6 bulan = 6% 3) 12 bulan = 12% 4) 18 bulan =18% 5) 24 bulan = 24% 6) 36 bulan =36% Contoh kasus: Bila ingin membeli emas 10 gram cash, berapa kira-kira total biaya yang dikeluarkan?
• harga emas tiap hari berubah, untuk harga emas pada hari ini untuk 10 gram adalah Rp. 3.261.000, namun jika memilih bentuk emas yang 5 gr, harganya selisih Rp. 3.000/gramnya dengan harga dari emas yang 10 gram
.• biaya margin yang dikenakan untuk pembelian secara cash adalah 3%, yaitu sekitar Rp. 98.000 .
 • jika pembelian di lakukan di kantor cabang, di kenakan biaya administrasi Rp. 50.000, dan barangnya baru bisa di ambil seminggu kemudian.
 • Jadi total uang yang harus saya serahkan jika hari ini saya beli cash emas 10 gr adalah Rp. 3.409.000. Dengan adanya produk tersebut ada beberapa keuntungan untuk masyarakat : a. Terciptanya pasar emas yang efisien. b. Terciptanya harga emas yang efisien. c. Terciptanya kondisi yadan bi yadin (serah terima langsung) dalam konsep jual beli emas fisik. d. Terciptanya komunitas investor emas. e. Meminimalisir keraguan masyarakat untuk investasi emas. 2. ARRUM (AR-RAHN untuk usaha mikro kecil) Keunggulan: a. Persyaratan yang mudah, proses yang cepat (± 3 hari), serta biaya-biaya yang kompetitif dan relatif murah. b. Jangka waktu pembiayaan yang fleksibel, mulai dari 12 bulan, 18 bulan, 24 bulan, hingga 36 bulan. c. Jaminan berupa BPKB kendaraan bermotor (mobil ataupun motor) sehingga fisik kendaraan tetap berada di tangan nasabah untuk kebutuhan operasional usaha. d. Nilai pembiayaan dapat mencapai hingga 70% dari nilai taksiran agunan. e. Pelunasan dilakukan secara angsuran tiap bulan dengan jumlah tetap. f. Pelunasan sekaligus dapat dilakukan sewaktu-waktu dengan pemberian diskon ijarah. g. Didukung oleh staf yang berpengalaman serta ramah dan santun dalam memberikan pelayanan.
 Persyaratan:
a. Calon nasabah merupakan pengusaha mikro kecil dimana usahanya telah berjalan minimal 1 tahun.
 b. Memiliki kendaraan bermotor (mobil/motor) sebagai agunan pembiayaan.
 Melampirkan:
a. Copy KTP dan Kartu Keluarga (KK);
 b. Copy KTP Suami/Istri;
c. Copy Surat Nikah;
d. Copy dokumen usaha yang sah (bagi pengusaha informal cukup menyerahkan surat keterangan usaha dari Kelurahan atau Dinas terkait);
 e. Asli BPKB Kendaraan bermotor;
f. Copy rekening koran/tabungan (jika ada);
 g. Copy pembayaran listrik dan telpon;
h. Copy pembayaran PBB;
i. Copy laporan keuangan usaha;
j. Memenuhi kriteria kelayakan usaha;

Proses memperoleh pembiayaan ARRUM:
a. Mengisi formulir aplikasi pembiayaan ARRUM;
b. Melampirkan dokumen-dokumen usaha, agunan, serta dokumen pendukung lainnya yang terkait;
c. Petugas Pegadaian memeriksa keabsahan dokumen-dokumen yang dilampirkan;
d. Petugas Pegadaian melakukan survey analisis kelayakan usaha serta menaksir agunan;
e. Penandatanganan akad pembiayaan;
f. Pencairan pembiayaan.

eggg.2303@gmail.com

Hanya Sebuah Tentang Cerita

 

Diam,sendiri,menyepi.

 sesekali harus seperti kata diatas, untuk memeriksa diri pribadi manusia. Manusia yang seperti di atas, selalu di ibaratkan dengan manusia bodoh yang tidak mengerti apa-apa, kata manusia yang merasa dirinya tidak seperti kata di atas. Manusia yang tidak pernah mencoba kata diatas, tidak akan pernah bisa mengoreksi diri yang melekat pada dirinya. Sehingga dia menjadi orang yang sangat menyedihkan dan paling bodoh dan goblog. Sungguh ingin memberi dia kaca dan sungguh ingin meludahi manusia yang sangat merasa wah , kata dia yang diam. 

 

 

 

 

Lentera kerangkeng emas ku.
Malam akhirnya siang, mimpipun menjadi nyata , nytatapun gelap, kegelapan awal dari terang, hiduppun menjadi tak berarti.
Hidup harus di cari, cari dan mencari adalah keharusan untuk hidup.
Arti dan arti untuk sebuah hidup adalah mati.
Mati tujuan hidup, tujuan adalah wayang dari mati dan hidup.
Manusi mati pertanyaan hidup.
Manusi berbicara dengan pohon pertayaan hidup.
Lintah di perut ibu pertayaan hidup.
Lelah menuju akhir kehudipan adalah titik kosong dari hidup terang benerang.
Baik dalam kehidupan dalam keterangan adalah percikan dalam kegelapan.
Kegelapanpun merupakan bintik-bintik dari kebaikan yang melakat dalam keterangan.
Hidup adalah gelap terang dari baik dan buruk.
Mencari-cari lentera dalam kegelapan kerangkeng emas.
  




Mengapa
Mengapa hidup
Mengapa harus ada hidup
Mengapa harus bertaya hidup
Mengapa hidup tidak mati
Mengapa mati
Mengapa terjadi mati
Mengapa harus mati
Mengapa harus ada hidup dan mati
Mengapa harus ada dan ada
            Itu adalah pertanyaan dari orang-orang yang memikirkan makna dari sebuah bentuk jati diri yang entah kenapa tidak berwujud,sehingga merasa bingung untuk di maknai hidup dan matinya.
            Mereka lebih mudah memakanai angin, gas dan air. Dia memang tidak terlihat wujudnya, tapi dia bisa dirasakan oleh jiwa mereka yang selalu bertanya-tanya akan apa dan apa dari arti hidup sebenarnya dan matinya kenapa.
            Ada yang bertanya siapa yang menciptakan mereka, kenapa mereka di ciptakan dan kenapa harus di ciptakan, kenapa tidak di ciptakan saja, agar kosong dan sunyi.
Biarkan wayang yang memainkan dalang.



...............................
Titik memang aneh, titik itu bentuknya kecil tapi titik sangat istimewam buat tulisan-tulisan, baik dalam karya-karya ataupun dalam sebuah narasi maupun fiksi. Dalam sebuah karya manusia yang di utarakan dalam sebuah tulisan.
Dia sengaja dibuat untuk sebuah pemberhentian dalam kata-kata yang tertera dalam tulisan. Tanpa titik tulisan-tulisan itu tidak menyenangkan untuk di baca dan di ucaapkan.
Tulisan sangat membutuhkan sebuah titik untuk alur-alur ceritanya. Begitu juga dengan penulis, karena tanpa tiik penulis tidak bisa membuat cerita dengan indah , seindah titik itu.
Titik memang mempunyai makna-makna yang indah. Penulis sendiri heran akan titik itu sendiri, mengapa titik itu sangat indah dan sangat  perlu untuk  diperhatikan.  Akan tetapi kebanyakan penulis tidak begitu memperhatikan akan keberadaan  titik yang  berada dalam tulisannya sendiri. Apa karena titik bentuknya sangat kecil sehingga tidak perlu diperhatikan dan untuk dipikirkan, atau APA?.
Ada yang mengatakan mula-mulanya terbentuknya bumi dan manusia berasal dari  titik. Apakah itu mungkin?. itu mungkin saja, karena tidak ada yang tidak mungkin, yang ada bisa jadi tidak ada begitu juga sebaliknya yang tidak ada bisa menjadi ada, begitu juga dengan hukum di negara kita yang benar bisa jadi salah dan yang salah bisa jadi benar.
Keindahan-keindahan titik memang tidak bisa dilihat oleh kasat mata, dia hanya bisa dipahami oleh perasaan, seperi halnya dengan cinta. Tapi ada sedikit perbedaan dengan cinta kalau cinta tidak bisa dipahami, dan hanya bisa dirasakan dengan perasan, sedangkan titik bisa dilahat dan bisa di pahami oleh perasaan.
Memang sungguh gila, titik bisa berada dimana-mana dan sangat sungguh ironis akan kehadirannya.
Ini hanya sebagian saja dari ungkapan-ungkapan titik, dan ini titik bukan koma, dan koma pun mempunyai sebuah arti dan cerita.
 Hanya selintas tenteng titik-titik                                    .......................................................................................

 

 

Senin, 17 September 2012

Empat Pilar Negara Khilafah






Oleh : KH. M. Shiddiq al-Jawi, S.Si, MSI** 
Relasi Agama dan Negara

 Khilafah dapat disebut juga “negara Islam” (ad dawlah al islamiyah) atau “sistem pemerintah Islam” (nizham al hukm fi al islam). Meskipun Khilafah adalah ajaran Islam yang asli (genuine), namun banyak umat Islam yang kurang memahaminya. Keaslian ajaran Khilafah itu dapat dibuktikan dari pandangan Islam mengenai relasi (hubungan) agama dan negara (kekuasaan). Pandangan Islam ini dirumuskan dalam kalimat “Al Islam diin wa minhu ad daulah.” (Isam adalah agama, di antaranya adalah ajaran tentang bernegara). Ini berbeda dengan konsep sekularisme dari Barat yang memisahkan agama dan negara (fashlud diin ‘an ad daulah). Agama dan negara dalam ajaran Islam tidak terpisah, karena dua sebab berikut ; Pertama, karakter Rasulullah SAW yang menyatukan fungsi kenabian (nubuwwah) dan kepemimpinan (ri`asah). Setelah hijrah ke Madinah (622 M), Rasulullah SAW bukan hanya berkedudukan sebagai nabi (penyampai risalah), namun juga berkedudukan sebagai kepala negara (ra`is ad dawlah). Terbukti Rasulullah SAW menjalankan fungsi-fungsi kepala negara, seperti mengadakan perjanjian, mengumumkan perang, mengirim atau menerima duta besar, dan seterusnya. Setelah Rasulullah SAW wafat, fungsi kenabian (nubuwwah) berakhir, yakni tak ada nabi lagi, tapi fungsi kepemimpinan (ri`asah) tetap diteruskan oleh para khalifah (kepala negara) selanjutnya.[1] 

Ini berbeda dengan karakter Nabi Isa AS, yang menjadi panutan beragama (dan dipertuhankan) bagi kaum Nasrani di Barat. Nabi Isa AS hanya menjalankan fungsi kenabian (nubuwwah), tapi tidak mempunyai fungsi kepemimpinan (ri`asah). Hal ini karena pada saat itu Nabi Isa AS hidup di bawah Kerajaan Romawi. Maka dari itu wajar, orang Barat menganggap agama dan negara terpisah, karena Nabi Isa AS sendiri memang hanya seorang nabi, tidak menjalankan fungsi sebagai penguasa. Kedua, karakter agama Islam itu sendiri yang bersifat komprehensif (syumuliah), yaitu tidak hanya mengatur aspek ibadah ritual, tapi mengatur segala aspek kehidupan. (Lihat QS Al Ma`idah [5] : 3 ; QS An Nahl [16] : 89). 
Karenanya Islam membutuhkan eksistensi negara atau kekuasaan untuk menjalankan hukum-hukum Islam secara menyeluruh.[2]
 Maka dari itu, agama dan negara (kekuasaan) tak terpisah, perhatikan misalnya sabda Rasulullah SAW : أَلاَ إِلْكِتَابَ وَالسُّلْطَانَ سَيَفْتَرِقَانِ، فَلاَ تُفَارِقُواْ الْكِتَابَنَّ ا “Ingatlah, sesungguhnya Al Kitab (Al Qur`an) dan kekuasaan (as sulthan) akan terpisah, maka (jika hal itu terjadi) janganlah kamu berpisah dari Al Kitab (Al Qur`an).” (HR Thabrani). [3] Sabda Rasulullah SAW ini juga menegaskan konsep kekuasaan sebagai bagian ajaran Islam : لينقضن عرى الإسلام عروة ، عروة ، فكلما انتقضت عروة تشبث الناس بالتي تليها ، وأولهن نقضًا الحكم ، وآخرهن الصلاة  
“Sungguh akan terurai simpul-simpul Islam satu demi satu, maka setiap satu simpul terurai, orang-orang akan bergelantungan pada simpul yang berikutnya (yang tersisa). Simpul yang pertama kali terurai adalah kekuasaan (pemerintahan) sedang yang paling akhir terurai adalah shalat.” (HR Ahmad, Ibnu Majah, dan Al Hakim).[4] Karakter agama Islam yang komprehensif ini (termasuk mengajarkan aspek kekuasaan) berbeda dengan karakter agama Nasrani yang tidak komprehensif, yaitu hanya mengatur persoalan aqidah dan akhlak. Agama Nasrani bukan sistem kehidupan (system of life) dan tak punya konsep bernegara, karena itu agama Nasrani dapat terlaksana tanpa ditopang sebuah negara. Perjanjian Baru sendiri dengan tegas memisahkan aspek agama dan negara, sebagaimana disebutkan dalam Matius,”Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar, dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan.” (Matius 22:21). Jelaslah bahwa agama dan negara dalam Islam tidak terpisah, berbeda dengan pandangan sekularisme Barat yang memisahkan agama dari negara. Kitab yang berjudul Al Islam wa Ushul Hukm karya Ali Abdur Raziq (1926) yang berusaha membuktikan terpisahnya agama (Islam) dari negara, adalah kitab yang batil karena nyata-nyata memalsukan ajaran Islam yang asli tentang ajaran bernegara.[5] Takrif (Definisi) Khilafah Dalam kitab-kitab fiqih dan ushuluddin, Khilafah disebut juga dengan istilah Imamah. Imam Nawawi menegaskan dalam kitabnya Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab (Juz 15 hlm. 517), bahwa Imamah atau Khilafah atau Imarah Al Mukminin adalah sinonim (mutaradif).[6] Banyak definisi tentang Khilafah. Definisi Khilafah menurut Taqiyuddin An Nabhani (pendiri Hizbut Tahrir) adalah sebagai berikut : اَلْخِلاَفَةُ هِيَ رِئَاسَةٌ عَامَّةٌ لِلْمُسْلِمِيْنَ جَمِيْعاً فِي الدُّنْيَا لإِقَامَةِ أَحْكَامِ الشَّرْعِ الإِسْلاَمِيِّ، وَحَمْلِ الدَّعْوَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ إِلَى
  الْعَالَمِ 

“Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.”[7] Dari definisi Khilafah di atas, dapat dipahami tiga poin penting : Pertama, bahwa Khilafah itu adalah suatu kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia. Jadi Khilafah bukan kepemimpinan khusus (ri`asah khashash), seperti kepemimpinan seorang wali (gubernur) di suatu wilayah (propinsi), atau seperti kepemimpinan khusus pada bidang tertentu, misalnya kepemimpinan seorang Qadhi Qudhat dalam bidang peradilan Islam (Al Qadha`). Dapat dipahami juga Khilafah adalah institusi politik pemersatu umat Islam, sebab kepemimpinan Khilafah bersifat umum bagi umat Islam seluruh dunia, tanpa melihat lagi batas-batas negara-bangsa (nation state) yang ada sekarang ini.[8] Kedua, bahwa fungsi pertama Khilafah adalah menerapkan Syariah Islam dalam segala aspek kehidupan, baik itu politik (pemerintahan), ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, politik luar negeri, dan sebagainya. Penerapan syariah ini adalah politik dalam negeri dari negara Khilafah.[9] Ketiga, bahwa fungsi kedua Khilafah adalah mengemban (menyebarkan) dakwah Islam ke seluruh dunia. Metode untuk mengemban dakwah ini adalah dengan menjalankan jihad fi sabilillah ke negara-negara lain. Mengemban dakwah dengan jalan jihad fi sabilillah inilah yang menjadi dasar politik luar negeri dari negara Khilafah.[10] Maka dari itu, dengan keberadaan Khilafah, akan dapat terwujud paling tidak 3 (tiga) hal sbb; pertama, persatuan umat dalam satu negara, yang telah diwajibkan Islam (lihat misalnya QS Ali ‘Imran : 103). Kedua, penerapan syariah Islam secara menyeluruh (kaaffah), yang telah diwajibkan Islam (lihat misalnya QS Al Baqarah : 208; QS Ali ‘Imran : 85). Ketiga, penyebarluasan Islam sebagai rahmat bagi seluruh manusia dan seluruh alam, yang menjadi karakter agama Islam (lihat misalnya QS Al Anbiya` : 107). Sebaliknya, dengan tiadanya Khilafah, akan terjadi keburukan dan dosa bagi umat Islam paling tidak dalam 3 (tiga) hal sbb; Pertama, umat Islam akan terpecah belah dan tercerai berai, seperti kenyataan sekarang yang terpecah menjadi 50-an negara lebih. Hal ini menimbulkan kondisi yang tidak dibenarkan Islam, yaitu dominasi kafir penjajah atas umat Islam (QS An Nisaa` : 141). Kedua, syariah Islam tidak dapat diterapkan secara menyeluruh, tapi hanya sebagiannya saja. Hal ini menimbulkan kondisi yang tidak dibenarkan Islam, yaitu dominasi hukum non Islam (hukum jahiliyah) atas umat Islam (QS Al Maaidah : 50). Ketiga, karakter agama Islam sebagai agama dan rahmat bagi seluruh umat manusia tidak dirasakan lagi. Yang dirasakan adalah kebalikannya, yaitu penderitaan dalam segala bidang akibat dominasi kapitalisme yang menindas dan menghisap umat manusia di seluruh dunia. Kondisi buruk ini tak dibenarkan Islam (QS Thahaa : 123-125). Kewajiban Khilafah (Imamah) Kewajiban adanya Khilafah telah disepakati oleh seluruh ulama dari seluruh mazhab. Tidak ada khilafiyah (perbedaan pendapat) dalam masalah ini, kecuali dari segelintir ulama yang tidak teranggap perkataannya (laa yu’taddu bihi). [11] Disebutkan dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah Juz 6 hlm. 164 : 

أجمعت الأمّة على وجوب عقد الإمامة ، وعلى أنّ الأمّة يجب عليها الانقياد لإمامٍ عادلٍ ، يقيم فيهم أحكام اللّه ، ويسوسهم بأحكام الشّريعة الّتي أتى بها رسول اللّه صلى الله عليه وسلم ولم يخرج عن هذا الإجماع من يعتدّ بخلافه

 “Umat Islam telah sepakat mengenai wajibnya akad Imamah [Khilafah], juga telah sepakat bahwa umat wajib mentaati seorang Imam [Khalifah] yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka, yang mengatur urusan mereka dengan hukum-hukum Syariah Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Tidak ada yang keluar dari kesepakatan ini, orang yang teranggap perkataannya saat berbeda pendapat.” [12] Syaikh Abdul Qadim Zallum (Amir kedua Hizbut Tahrir) menyebutkan,”Mengangkat seorang khalifah adalah wajib atas kaum muslimin seluruhnya di segala penjuru dunia. Melaksanakan kewajiban ini - sebagaimana kewajiban manapun yang difardhukan Allah atas kaum muslimin- adalah perkara yang pasti, tak ada pilihan di dalamnya dan tak ada toleransi dalam urusannya. Kelalaian dalam melaksanakannya termasuk sebesar-besar maksiat, yang akan diazab oleh Allah dengan azab yang sepedih-pedihnya.” [13] Kewajiban Khilafah ini bukan hanya pendapat Hizbut Tahrir, tapi pendapat seluruh ulama. Imam Ibnu Hazm menyebutkan bahwa, “Telah sepakat semua Ahlus Sunnah, semua Murji`ah, semua Syiah, dan semua Khawarij akan wajibnya Imamah [Khilafah]…”[1] Khusus dalam lingkup empat mazhab Ahlus Sunnah, Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menyebutkan,”Para imam mazhab yang empat [Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan Ahmad] rahimahumullah, telah sepakat bahwa Imamah [Khilafah] itu fardhu, dan bahwa kaum muslimin itu harus mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang akan menegakkan syiar-syiar agama dan menolong orang yang dizalimi dari orang zalim. Mereka juga sepakat bahwa kaum muslimin dalam waktu yang sama di seluruh dunia, tidak boleh mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat atau bertentangan.” [14] Dalil-Dalil Kewajiban Khilafah Para ulama menerangkan bahwa dalil-dalil kewajiban Khilafah ada 4 (empat), yaitu : Al Qur`an, As Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qaidah Syar’iyyah. Dalil Al Qur`an, antara lain firman Allah SWT : 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-NYa, dan Ulil Amri di antara kamu.” (QS An-Nisaa` : 59) Wajhul Istidlal (cara penarikan kesimpulan dari dalil) dari ayat ini adalah, ayat ini telah memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati Ulil Amri di antara mereka, yaitu para Imam (Khalifah). Perintah untuk mentaati Ulil Amri ini adalah dalil wajibnya mengangkat Ulil Amri, sebab tak mungkin Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk mentaati sesuatu yang tidak ada. Dengan kata lain, perintah mentaati Ulil Amri ini berarti perintah mengangkat Ulil Amri. Jadi ayat ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang Imam (Khalifah) bagi umat Islam adalah wajib hukumnya. [15] Dalil Al Qur`an lainnya, adalah firman Allah SWT : فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ عَمَّا جَاءكَ مِنَ الْحَقِّ 
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS Al Maidah : 48) Wajhul Istidlal dari ayat ini adalah, bahwa Allah telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk memberikan keputusan hukum di antara kaum muslimin dengan apa yang diturunkan Allah (Syariah Islam). Kaidah ushul fiqih menetapkan bahwa perintah kepada Rasulullah SAW hakikatnya adalah perintah kepada kaum muslimin, selama tidak dalil yang mengkhususkan perintah itu kepada Rasulullah SAW saja. Dalam hal ini tak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya kepada Rasulullah SAW, maka berarti perintah tersebut berlaku untuk kaum muslimin seluruhnya hingga Hari Kiamat nanti. Perintah untuk menegakkan Syatiah Islam tidak akan sempurna kecuali dengan adanya seorang Imam (Khalifah). Maka ayat di atas, dan juga seluruh ayat yang memerintahkan berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, hakikatnya adalah dalil wajibnya mengangkat seorang Imam (Khalifah), yang akan menegakkan Syariah Islam itu.[16] Dalil Al Qur`an lainnya, adalah ayat-ayat yang memerintahkan qishash (QS Al Baqarah : 178), hudud (misal had bagi pelaku zina dalam QS An Nuur : 2; atau had bagi pencuri dalam QS Al Maidah : 38), dan ayat-ayat lainnya yang pelaksanaannya bergantung pada adanya seorang Imam (Khalifah). Ayat-ayat semisal ini, berarti adalah dalil untuk wajibnya mengangkat seorang Imam (Khalifah), sebab pelaksanaan ayat-ayat tersebut bergantung pada keberadaan Imam itu.[17] Dalil As Sunnah, banyak sekali, antara lain sabda Nabi SAW :
 من مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية 
“Barangsiapa yang mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada seorang imam/khalifah), maka matinya adalah mati jahiliyah.” (HR Muslim, no 1851). Dalalah (penunjukkan makna) dari hadis di atas jelas, bahwa jika seorang muslim mati jahiliyyah karena tidak punya baiat, berarti baiat itu wajib hukumnya. Sedang baiat itu tak ada kecuali baiat kepada seorang imam (khalifah). Maka hadis ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) itu wajib hukumnya.[18] Dalil lain dari As Sunnah misalnya sabda Nabi SAW :

 إذا خرج ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم 

“Jika ada tiga orang yang keluar dalam suatu perjalanan, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka untuk menjadi amir (pemimpin).” (HR Abu Dawud). 
Imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa jika Islam mewajibkan pengangkatan seorang amir (pemimpin) untuk jumlah yang sedikit (tiga orang) dan urusan yang sederhana (perjalanan), maka berarti Islam juga mewajibkan pengangkatan amir (pemimpin) untuk jumlah yang lebih besar dan untuk urusan yang lebih penting. (Ibnu Taimiyah, Al Hisbah, hlm. 11). Dengan demikian, untuk kaum muslimin yang jumlahnya lebih dari satu miliar seperti sekarang ini, dan demi urusan umat yang lebih penting dari sekedar perjalanan, seperti penegakan hukum Syariah Islam, perlindungan umat dari penjajahan dan serangan militer kafir penjajah, maka mengangkat seorang Imam (Khalifah) adalah wajib hukumnya. Adapun dalil Ijma’ Shahabat, telah disebutkan oleh para ulama, misalnya Ibnu Khaldun sebagai berikut : 

نصب الإمام واجب ، وقد عرف وجوبه في الشرع بإجماع الصحابة والتابعين

“Mengangkat seorang imam (khalifah) wajib hukumnya, dan kewajibannya dapat diketahui dalam Syariah dari ijma’ (kesepakatan) para shahabat dan tabi’in…” (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 191). Imam Ibnu Hajar Al Haitami berkata : 

اعلم أيضًا أن الصحابة رضوان الله عليهم أجمعوا على أن نصب الإمام بعد انقراض زمن النبوة واجب ، بل جعلوه أهم الواجبات حيث اشتغلوا به عن دفن رسول الله 

“Ketahuilah juga, bahwa para shahabat -semoga Allah meridhai mereka- telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib, bahkan mereka menjadikannya sebagai kewajiban paling penting ketika mereka menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan meninggalkan kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW.” (Ibnu Hajar Al Haitami, As Shawa’iqul Muhriqah, hlm. 7). Adapun dalil Qaidah Syar’iah, adalah kaidah yang berbunyi :

 ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب 

“Jika suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.” 
Sudah diketahui bahwa terdapat kewajiban-kewajiban syariah yang tidak dapat dilaksanakan secara sempurna oleh individu, seperti kewajiban melaksanakan hudud, seperti hukuman had bagin pelaku zina dalam QS An Nuur : 2; atau hukuman had bagi pencuri dalam QS Al Maidah : 38, kewajiban jihad untuk menyebarkan Islam, kewajiban memungut dan membagikan zakat, dan sebagainya. Kewajiban-kewajiban ini tak dapat dan tak mungkin dilaksanakan secara sempurna oleh individu, sebab kewajiban-kewajiban ini membutuhkan suatu kekuasaan (sulthah), yang tiada lain adalah Khilafah. Maka kaidah syariah di atas juga merupakan dalil wajibnya Khilafah.[19] Berdasarkan penjelasan di atas, Khilafah hukumnya wajib berdasarkan 4 (empat) dalil, yaitu : Al Qur`an, As Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qaidah Syar’iyyah. Empat Pilar Negara Khilafah Khilafah mempunyai empat pilar (qaidah) yang mutlak wajib ada demi keberadaan dan kelangsungan keberadaan Khilafah. Jika salah satu pilar ini tidak ada, berarti Khilafah tidak ada atau telah berubah menjadi bentuk negara atau sistem pemerintahan lain yang tidak Islami. Kedudukan empat pilar ini seperti halnya rukun-rukun shalat, yang jika salah satu rukun itu tidak ada, maka shalatnya tidak sah dan tidak diterima oleh Allah SWT. Keempat pilar Khilafah ini adalah sebagai berikut [20] : Pertama, kedaulatan di tangan syariah, bukan di tangan rakyat. Kedua, kekuasaan di tangan umat. Ketiga, mengangkat satu orang khalifah adalah wajib atas seluruh kaum muslimin. Keempat, hanya khalifah saja yang berhak melegislasikan hukum-hukum syara’, dan khalifah saja yang berhak melegislasi UUD dan segenap UU. Pilar pertama, kedaulatan adalah ditangan syariah (as siyadah li as syar’i), dengan kata lain ialah bahwa yang berhak mengatur manusia hanyalah Syariah Islam, bukan hukum yang lain. Sebab definisi kedaulatan (as siyadah, sovereignty) adalah otoritas tertinggi yang bersifat mutlak yang merupakan satu-satunya pihak yang berhak mengeluarkan hukum untuk mengatur perbuatan manusia dan benda-benda yang digunakan manusia.[21] Tak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dan seluruh umat Islam, bahwa kedaulatan di tangan syariah, sebab kedaulatan di tangan syariah itu artinya adalah hanya Allah SWT saja yang berhak menetapkan hukum bagi manusia (lihat misalnya QS Al An’am : 57; QS Asy Syura : 10).[22] Jika pilar pertama tentang kedaulatan ini hilang, yakni kedaulatan berubah menjadi di tangan rakyat, berarti Khilafah itu dengan sendirinya sudah hancur dan berubah menjadi sistem demokrasi. Dalam demokrasi, kedaulatan di tangan rakyat, yang berarti bahwa satu-satunya pihak yang berhak mengatur hidup manusia adalah manusia itu sendiri, bukan Allah SWT. Inilah perbedaan paling mendasar antara sistem Khilafah dan sistem demokrasi. Dalam Khilafah, kedaulatan di tangan syariah. Sedang dalam demokrasi, kedaulatan di tangan rakyat. Jelas demokrasi adalah paham kufur yang sangat bertentangan dengan Islam. Pilar kedua, menetapkan kekuasaan ada di tangan umat (as sulthan li al ummah). Kekuasaan (as sulthan) didefinisikan sebagai otoritas untuk menerapkan hukum-hukum dan perundang-undangan. Pilar kekuasaan ada di tangan umat (as sulthan li al ummah) ini mengandung arti bahwa umatlah yang berhak memilih pemimpin yang dikehendakinya untuk menjalankan kekuasaan. Hal ini dapat dipahami dari hadis-hadis tentang baiat, bahwa seseorang tak menjadi pemimpin (khalifah), kecuali dibaiat (dipilih) oleh umat. Juga dapat dipahami dari hadis tentang pengangkatan pemimpin (ta`miir), yakni bahwa dalam perjalanan oleh tiga orang, harus diangkat pemimpin (amir) oleh pihak yang dipimpin (yakni umat). Inilah dalil-dalil yang menunjukkan bahwa kekuasaan dalam Islam itu ada di tangan umat (as sulthan li al ummah).[23] Jika pilar tentang kekuasaan ini hilang, yaitu kekuasaan tak lagi di tangan umat, misalnya berubah menjadi di tangan keluarga atau suku tertentu, berarti Khilafah itu sudah hancur dan berubah menjadi sistem monarki (kerajaan). Contoh sistem monarki adalah Kerajaan Saudi Arabia yang kekuasaannya berada di tangan keluarga Ibnu Saud secara eksklusif. Inilah perbedaan mendasar Khilafah dengan sistem monarki. Dalam Khilafah, kekuasaan di tangan umat. Sedang dalam sistem monarki, kekuasaan secara eksklusif dimiliki oleh keluarga tertentu. Pilar ketiga Khilafah, menetapkan bahwa mengangkat satu orang khalifah adalah wajib atas seluruh kaum muslimin. Pilar ini mempunyai dua dimensi pengertian. Pertama, khalifah yang diangkat wajib satu orang saja, tidak boleh lebih. Kedua, mengangkat khalifah itu sendiri adalah wajib hukumnya, bukan sunnah, mubah, dan sebagainya.[24] Jika pilar ini hilang dalam negara Khilafah, misalnya khalifah yang diangkat ada dua orang, maka otomatis Khilafah telah hancur dan berubah menjadi sistem lain. Sebab Syariah Islam telah mengharamkan membaiat dua orang khalifah pada waktu yang sama, sesuai sabda Nabi SAW,”Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR Muslim). Jadi pilar ketiga ini memastikan persatuan umat di bawah satu kepemimpinan. Maka dari itu, jelas kelitu sekali kondisi umat Islam yang terpecah belah dipimpin oleh banyak pemimpin sebagaimana dalam sistem negara-bangsa (nation state) sekarang ini. Demikian pula juga suatu kekeliruan jika mengangkat khalifah tidak lagi dianggap sebagai kewajiban, atau malah dianggap perbuatan criminal. Pilar keempat, menegaskan bahwa Khalifah mempunyai hak khusus dalam melegislasikan hukum syara’ menjadi undang-undang yang berlaku umum dan bersifat mengikat. Hal ini didasarkan pada Ijma’ Shahabat yang melahirkan kaidah syar’iyah yang termasyhur,”Amrul Imam yarfa’ul khilaf.” (Perintah Imam [khalifah] menghilangkan perbedaan pendapat. Juga kaidah syar’iyah lain yang tak kalah masyhur,”Lil Imam an yuhditsa minal aqdhiyati bi qadri maa yahdutsu min musykilat.” (Imam [khalifah] berhak menetapkan keputusan baru sejalan dengan persoalan-persoalan baru yang terjadi).[25] Jika pilar keempat ini tidak ada, misalnya hak legislasi diserahkan kepada lembaga legislatif, bukan menjadi hak khusus khalifah, maka Khilafah hakikatnya sudah hancur dan berubah menjadi sistem demokrasi yang menetapkan hak legislasi ada di tangan lembaga legislatif. Penutup Demikianlah sekilas penjelasan tentang wajibnya Khilafah dan empat pilar Khilafah. Diharapkan, umat Islam mulai terbuka mata hati dan pikirannya untuk bersedia mempelajari dan mendukung ajaran Islam yang asli ini. Umat Islam tak boleh lagi tertipu oleh kaum liberal sekular yang terus menerus menjajakan ide-ide kufur dan menyesatkan seperti sekularisme dan demokrasi dari Dunia Barat yang memang sekular dan Kristen. Marilah kembali ke konsep Khilafah, ajaran bernegara yang asli dari Islam, walaupun orang-orang kafir dan munafik pasti akan membencinya. Wallahu a’lam. = = = = *Makalah disampaikan dalam Seminar Khilafah Islamiyah, dengan tema Khilafah Solusi Terbaik Permasalahan Umat, diselenggarakan oleh HTI Bengkulu, di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Bengkulu, Minggu, 10 Juni 2012. **DPP HTI (Dewan Pimpinan Pusat Hizbut Tahrir Indonesia). 

 CATATAN AKHIR : 

[1] Abdul Qadim Zallum, Nizham Al Hukm fi Al Islam, 2002, hlm. 116-117. 
[2] Sayyid Muhammad Habib Al Ubaidi Al Maushili, Hablul I’tisham wa Wujub Al Khilafah fi Diinil Islam, hlm. 70-71; Hisyam Al Badrani, An Nizham As Siyasi Ba’da Hadm Daulah Al Khilafah, hlm. 46. [3] Lihat Ath Thabrani, Al Mu’jam Al Shaghir no 794; dalam Al Mu’jam Al Kabir, juz 20 hlm. 76; no 172; Ibnu Hajar Al Haitsami, Majma’uz Zawa`id, Juz 5 hlm. 225-226. 
[4] Lihat Musnad Ahmad, 1/251; Shahih Ibnu Majah no 257; Al Hakim dalam Al Mustadrak, 4/92; disahihkan oleh Nashiruddin Al Albani, Shahih Al Jami’ As Shaghir no. 4951, Juz 5 hlm.15. 
[5] Sangat menyedihkan kaum liberal yang dangkal pikirannya terus menerus menggunakan kitab Al Islam wa Ushul Al Hukm karya Ali Abdur Raziq untuk membodohi umat Islam bahwa Islam tidak mengajarkan konsep Negara (Khilafah). Padahal sudah banyak kitab yang mengkritik secara telak kitab tersebut, misalnya : Muhammad Imarah, Al Islam wa Ushul Al Hukm li Ali Abd Ar Raziq Dirasah wa Watsa`iq, (Beirut : Al Mu`assah Al Arabiyah), 2000; Ruysdi Ilyan, Al Islam wa Al Khilafah, (Baghdad: Darus Salam), 1976; Sayyid Taqiyuddin Sayyid, Radd Hai`ah Kibar Al ‘Ulama ‘Ala Kitab Al Islam wa Ushul Al Hukm li Ali Abd Ar Raziq, (Kairo : t.p), 1414 H; Muhammad Thahir bin ‘Asyur, Naqd ‘Ilmi li Kitab Al Islam wa Ushul Al Hukm, (Kairo : Mathba’ah Salafiyah), 1344 H; Muhammad Imarah, Naqdh Kitab Al Islam wa Ushul Al Hukm li Syaikh Al Islam Muhammad Khidhir Al Husain, (Kairo : Dar Nahdhah Mishr), 1998. 
[6] Lihat Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji, Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 35. Lihat juga Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 190. 
[7] Taqiyuddin An Nabhani, As Syakhshiyah Al Islamiyah, (Beirut : Darul Ummah), 2003, Juz 2 hlm. 14 
[8] Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah, Bab Definisi Imarah, Juz 6 hlm.149. 
[9] Hizbut Tahrir, Afkar Siyasiyah, 1994, hlm. 7-9.
 [10] Hizbut Tahrir, Afkar Siyasiyah, 1994, hlm. 7-9. 
[11] Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah, Bab Al Imamah Al Kubro, Juz 6 hlm. 163.
 [12] Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah, Bab Al Imamah Al Kubro, Bab Al Imamah Al Kubra, Juz 6 hlm. 164. 
[13] Abdul Qadim Zallum, Nizhamul Hukm fi Al Islam, hlm. 34. 
[14] Ibnu Hazm, Al-Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal, Juz 4 hlm.78 
[15] Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji, Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49. 
[16] Ibid. hlm. 50. 
[17] Ibid. hlm. 51. 
[18] Ibid. hlm. 52. 
[19] Ibid., hlm. 61. 
[20] Lihat pembahasan empat pilar Khilafah dalam Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawa’id Nizham Al Hukm fi Al Islam, (Kuwait : Darul Buhuts Al Ilmiyah), 1980. Kitab ini adalah pengembangan dari konsep Hizbut Tahrir yang terdapat dalam kitab-kitab Hizbut Tahrir, seperti Nizham Al Hukm fi Al Islam, 2002; atau Muqaddimah Ad Dustur, 2010, dan sebagainya. Pada gilirannya, kitab Mahmud Abdul Majid Al Khalidi itu lalu dirujuk oleh ulama lain, seperti Dr. Shalah as Shawi, dalam kitabnya Nazhariyah As Siyadah. 
[21] Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawa’id Nizham Al Hukm fi Al Islam, (Kuwait : Darul Buhuts Al Ilmiyah), 1980, hlm. 24; lihat kitabnya yang lain, Naqdh An Nizham Ad Dimuqrathi, (Beirut : Darul Jiil; Amman : Maktabah Al Muhtasib), 1984, hlm. 30. Lihat juga Shalah As Shawi, Nazhariyah As Siyadah wa Atsaruha ‘Ala Syar’iyyah Al Anzhimah Al Wadh’iyyah, hlm. 10. 
[22] Shalah As Shawi, Nazhariyah As Siyadah wa Atsaruha ‘Ala Syar’iyyah Al Anzhimah Al Wadh’iyyah, hlm. 31-32. 
[23] Abdul Qadim Zallum, Nizham Al Hukm fi Al Islam, 2002, hlm. 41-42.
 [24] Abdul Qadim Zallum, Nizham Al Hukm fi Al Islam, 2002, hlm. 43-44
 [25] Abdul Qadim Zallum, Nizham Al Hukm fi Al Islam, 2002, hlm. 44-45